Kamis, 23 November 2023

Umroh Keluarga Tanpa Fasilitas Makan?

Awal gabung di travel karena ada paket umroh ekonomis (menurut kami) dengan berbagai keunggulan : 12 hari, 2x shalat Jumat (Madinah dan Makkah), free city tour (Kuala Lumpur dan Thaif). Hanya saja tertulis disitu : tidak termasuk fasilitas makan di hotel Madinah dan Makkah.

Saat kami datang ke kantor travel diragukan oleh pihak travel, karena ini adalah program backpacker yang bisanya gabung ke paket ini adalah orang-orang muda. Lha kami daftar sekeluarga (total 7 orang) bahkan dengan 2 anak kecil usia 9 dan 3 tahun.

Apakah sanggup dengn ritme yang cukup padat dan tanpa fasilitas makan hotel? Bagaimanan nanti disana terutama anak-anak kecil?

Alhamdulillah kami sekeluarga sudah terbiasa dengan rute masjid ke masjid, termasuk tidur/iktikaf di masjid selama perjalanan. Hampir setiap liburan sekolah anak-anak diajak safari masjid area Jawa bahkan Alhamdulillah tahun lalu mencicipi beberapa masjid di area pulau Bali. Jadi Insya Allah anak-anak sudah terbiasa dengan ritme perjalanan yang cepat, panjang dan keluar dari zona nyaman. Mau tidur di hotel atau di masjid pun tak masalah.

 Terkait makan, pengalaman haji di 2016 kami sudah terbiasa masak di hotel. Karena saat haji ada beberapa hari juga yang tidak mendapat jatah makan dari pemerintah. Termasuk sudah tahu toko-toko kecil yang menjual kebutuhan masak dan lain-lain. 

Jadi yang kami bawa untuk persiapan makan : rice cooker kecil, panci listrik, beras, mie instan, rendang kaleng siap masak (ini hasil dari SuperQurban nya RZI), abon dan sejenisnya. Serta tak lupa beli telur di Madinah/Makkah.

Harga telur di sanaa tergolong murah (dibandingkan lauk lainnya), per butir tak sampai 1 Riyal. Olehan telur pun beragam : telur rebus, telur dadar, omelet, telur ceplok dll dan pasti anak-anak suka

Saat ziarah di Madinah atau Makkah pun kami bawa bekal jika tak sempat makan di hotel, praktis dimakan di bus selama perjalanan. Pun juga saat dhuhur di masjid kami tak perlu buru-buru pulang ke hotel untuk ambil jatah makan (Biasanya kan ada waktu maksimal makan siangnya). Bisa santai di masjid lanjut ke Ashar.

Alhamdulillah sudah diniatkan, insya Allah kesulitan-kesulitan kecil bukan suatu masalah untuk perjalanan umroh ini. Salaah satunya urusan makan ☺ 


Senin, 05 Juli 2021

Diary Penyintas Covid-19

17 Juni 2021

Bi, sejak kemarin tenggorokanku sakit.

Sepertinya kebanyakan es teh dan gorengan. 

Sebaiknya kita kurangi lah konsumsi itu dirumah.

Sent...

Kukirim pesan WA ke suamiku. Ya, memang itu yang kurasakan. Seperti gejala mau batuk atau radang tenggorokan. 

Hari ini jadwalku WFO, sendirian di ruangan karena rekan kerja sedang ke lapangan. Nanti agak siang aku juga berangkat ke lapangan, survei litbang ditemani salah satu KSK.

18 Juni 2021

Pagi ini aku merasa gak enak badan, tadi malam tenggorokanku terasa lebih sakit. Sepanjang malam aku minum air hangat, cenderung panas untuk meredakannya. Tapi sepertinya belum ada perubahan.

Hari ini aku WFH tapi ada 2 agenda lain : ambil raport F4, kembalikan buku di sekolah F2, makan siang perpisahan dengan kepala seksi yang bulan depan pensiun.

Badanku agak demam rasanya, aku ambil termometer masih di kisaran 37 derajat. Wah ini nanti kalau masuk ke sekolah anak-anak diukur termometer tembak, bisa ditolak masuk area sekolah.

Akhirnya aku ajak F1 untuk pergi, dengan skenario kalau aku gak boleh masuk area sekolah nanti biar F1 saja yang masuk.

Ternyata saat sampai sekolah dan diukur suhu hanya 35,5 derajat. Lolos masuk area sekolah! Eh tapi kok rendah banget, rasanya aku masih demam. Mungkin alatnya lagi error he...

Pagi itu agenda ke 2 sekolah selesai. Sampai rumah aku langsung istirahat, cuma tiduran saja sampai menjelang sholat Jumat.

Ba'da sholat Jumat aku bersiap menuju salah satu resto untuk makan siang bareng. Cuma 4 orang saja sih, teman satu seksi. Saat itu aku merasa lebih baik karena tadi pagi sudah keluar rumah dan kondisi OK saja sampai balik kerumah lagi. Hanya saja suaraku sudah mulai serak, nanti mau pesan menu yang anget-anget saja. Gak boleh pesan es!

Sebelum ashar acara makan bareng selesai, agak lama karena sebenarnya rapat seksi juga. Sudah sangat jarang kami bisa kumpul bareng karena jadwal WFO dan WFH yang berbeda.

Pulang kerumah sampai malam semua biasa saja. Hanya suara yang serak, sakit tenggorokan juga sudah berkurang. Selama ini aku minum larutan penyegar dan vitamin C 1000. Lumayan membantu lah...

Badanku rasanya demam, tapi diukur suhu hanya berkisar 37 saja. Malam ini F1 mengeluh kedinginan, dia tidur dengan selimut tebal. Biasanya gak pernah seperti itu. F3 pun rasakan hal yang sama, tapi dia masih kuat tidur dengan kipas angin.

Minggu, 11 Agustus 2019

HAJI...tahanlah, bersabarlah


Keputusan diri untuk mendaftarkan porsi haji reguler membutuhkan kesabaran tinggi, tidak hanya saat di tanah air (antrian yang panjang), masa-masa keberangkatan maupun hari2 utama puncak haji.

Termasuk juga memilih menjadi jamaah haji KBIH maupun non KBIH ternyata ada banyak pemahaman dan alasan yang berbeda. Mana yang lebih baik? Wallahu'alam, yang terbaik adalah beribadah haji sebagai rukun Islam ke 5 dengan uang halal.

Mungkin banyak yang tidak sepemahaman dengan beberapa hal yang saya tuliskan. Monggo...ini hanya berbagi terutama yang masih menunggu waktu berangkat ke tanah suci.

Kami ikut ke KBIH Muslimat NU. Kenapa?
Karena sudah didaftarkan oleh bapak ibu saat kami masih di tanah rantau. Di hati kecil kami sebenarnya ingin bergabung ke KBIH lain yang kami rasa lebih cocok, namun dengan niatan birrul walidain diikhlaskan saja. Toh membuat orangtua bahagia akan menambah keberkahan.

Ternyata di KBIH didominasi oleh para petani dan pekerja sektor informal, secara fisik sudah terbiasa bekerja keras di rumah masing-masing. Tak seperti kami yang berangkat pagi pulang petang, duduk di depan komputer. Tanpa ada aktivitas fisik berarti sebagai latihan untuk pelaksanaan haji. Namun secara usia banyak teman-teman KBIH yang sudah sepuh (tua) sehingga untuk urusan tertentu banyak membutuhkan bantuan yang lebih muda. Kami sebagai jamaah termuda di KBIH sudah dipasrahi untuk membantu para sepuh sejak keberangkatan dari Masjid Agung Wates sampai kembali lagi ke Masjid Agung 40 hari kemudian. Mungkin inilah salah satu keberkahan yang didapat, tak semata ibadah haji namun ibadah muamalah-nya dapat. 

Hari-hari haji telah datang, sebagian penghuni hotel melakukan ibadah Tarwiyah di Mina. Secara aturan pemerintah Indonesia, tidak diperbolehkan mengikuti sunnah Tarwiyah. Lebih ke arah keamanan dan kesehatan para jamaah menghadapi puncak ibadah haji. Jadi selama tarwiyah di Mina, jamaah tidak ditanggung pemerintah termasuk fasilitas makan dan lain-lain. Semua menjadi tanggung jawab KBIH masing-masing. 

Sedangkan KBIH kami sejak awal memutuskan untuk mentaati Ulil Amri di wilayah setempat, artinya apa yang diperbolehkan kita lakukan dan apa yang menjadi larangan kita tidak melakukan. Kenapa? Semata-mata sebagai rasa hormat dan tunduk kami pada pembuat aturan. Tentunya beliau-beliau memutuskan sesuatu setelah melalui kajian fiqh maupun faktor keselamatan jamaah haji yang dominan di tanah suci, namun dengan fisik yang kalah dibandingkan jamaah luar negeri lainnya. KBIH kami akhirnya langsung menuju Arafah bersama rombongan lain yang tidak ikut tarwiyah.

Ternyata benar ... saat haji kita dilarang untuk berbantah-bantahan. Hanya sekedar saling mengingatkan. Banyak sekali hal-hal yang tidak cocok dengan keyakinan kita masing-masing. Ingin sekali berkomentar dan beradu argumen mana yang lebih baik, tapi harus menahan diri untuk bersabar. Termasuk saat wukuf di dalam atau di luar tenda, mabit di Muzdalifah : menunggu sampai jelang fajar atau mengikuti jadwal yang ditentukan, lontar jumrah : menunggu waktu afdhol atau mentaati jadwal pemerintah (dan maktab masing-masing), tawaf ifadhoh : langsung setelah lempar jumroh hari pertama atau mengakhirkan setelah pulng dari Mina. Dan masih banyak perbedaan lainnya. 
Mana yang lebih baik? Yang mentaati Ulil Amri di tanah suci atau "nekad" menabrak aturan yang ada untuk mendapat afdholnya ibadah. Wallahu 'alam...

Buat yang berangkat haji tahun-tahun depan...yakinlah pilihan mana yang diutamakan. Ada resiko di setiap pilihan. Semoga haji kita semua diterima Allah, dengan menahan diri untuk bersabar tanpa berbantahan dengan pilihan masing-masing jamaah. Aamiin


Sebuah cita selalu sama : untuk bisa kembali ke tanah suci


Kamis, 04 Juli 2019

Jamaah RESTI



Mungkin saya pernah menulis ini...maafkan jika ada yang membaca hingga berulang-ulang. Karena yang menulis dan bercerita pun tak akan pernah bosan untuk mengungkap kebesaran Allah dalam perjalanan kami.

Ini adalah buku kesehatan haji saya beberapa tahun lalu. Kok identitasnya gak ditulis? Memang tidak saya tampilkan, sebenarnya ada di halaman samping berupa tempelan stiker dengan barcode. Jadi memudahkan pengecekan langsung via komputer.

Yang ingin saya ceritakan kembali adalah judul paling atas dari foto ini...ya RESTI, artinya Resiko Tinggi.
Qodarullah saat pemeriksaan awal di puskesmas saya didiagnosa Anemia (Hb 8). Ya saya sendiri tidak kaget, karena beberapa kali memang ketemu penyakit ini saat ke dokter. Paling parah ketika mau melahirkan anak ke 4, tanpa disadari Hb saya cuma 5 dan langsung dikasih surat rujukan ke RS untuk transfusi darah hingga 5 kantong selama seminggu.

Alhamdulillah masa itu telah terlewati, yang membuat sedih ternyata Anemia salah satu penyakit yang bisa "menunda" atau "membatalkan" keberangkatan haji. Entah analisisnya bagaimana tapi yang saya tahu seperti itu waktu dapat info awal pemeriksaan kesehatan haji.

Dag Dig dug lah selama masa pemeriksaan hingga menunggu hari-H keberangkatan tiba.
Saran dari dokter : makan telur minimal 1 butir sehari. Dan mengingat resiko yang bisa saja terjadi, saya turuti saran dokter.
Periksa pertama Hb 8
Periksa kedua Hb 9
Saat hari keberangkatan hampir tiba, saya inisiatif ke laboratorium dekat rumah untuk memastikan lagi apakah saya layak berangkat atau tidak. Alhamdulillah, 3 hari sebelum masuk embarkasi Hb saya sudah 11 mendekati angka normal.
Akhirnya saat pemeriksaan terakhir di embarkasi tiba, dan ternyata lebih ketat daripada di puskesmas. Bahkan bagi wanita usia subur, meski posisi saat itu sedang haid tetap saja dilakukan tes raba untuk memastikan tidak ada kehamilan.
Dan saya sebagai jamaah kategori RESTI semakin ketat lagi dalam pemeriksaan. Termasuk tentang tes Hb yang dilakukan. Namun karena 3 hari sebelumnya saya sudah tes di luar, petugas kesehatan embarkasi tidak mewajibkan saya tes darah di lokasi tersebut. Dan saya dinyatakan Layak Berangkat. Alhamdulillah....saya betul2 bersyukur, terima kasih buat dokter puskesmas yang tak bosan2nya ingatkan saya "Bu, jangan lupa telur minimal 1 butir per hari".

Dan pesan itu saya ikuti terus selama di Madinah dan Makkah, saya rutin beli telur mentah dan direbus di alat pemasak air atau penanak nasi.
Harga telur di sana lumayan murah, tapi saya lupa harga pastinya.

Dan kuasa Allah kembali datang saat menjelang Armina, tetiba suami sakit (asam lambung) karena faktor kecapekan dan lain-lain. Hingga saat berangkat ke Arafah pun kondisinya masih belum sadar penuh, hanya tidur dan saya bangunkan saat sholat saja. Tanpa ada asupan makanan yang masuk. Tapi memang seperti itulah kebiasaan nya, akan sembuh sendiri jika waktu istirahat nya sudah cukup.
Namun karena besok paginya kita harus wukuf, dan itulah puncak haji mau tak mau suami pun diberikan obat dosis tinggi oleh dokter kloter di malam harinya. Alhamdulillah, saat pagi hari wukuf sudah bisa duduk tegak dan mengikuti rangkaian wukuf hari itu.

Masya Allah...Ternyata saat berangkat ke tanah suci saya yang bergelang merah dengan status RESTI dan suami sebagai pendamping, menjadi keadaan yang terbalik 180 derajat di tanah suci. Suamilah yang akhirnya menjadi pasien dan saya yang berstatus sebagai pendampingnya.

Bukan saya hebat, semua itu sudah ditentukanNya...untuk menunjukkan bahwa Allah mudah sekali membolak-balikkan semuanya termasuk urusan sakit saat ibadah haji.
Wallahu'alam...

Semoga Allah mudahkan, sehatkan, lancarkan ibadahnya dan kembali ke tanah air menjadi haji mabrur. Aamiin

Kamis, 20 Juni 2019

Dari Perempuan Penulis Untuk Anak Indonesia


Fitrah seorang perempuan adalah menjadi seorang ibu. Tak hanya ibu biologis namun juga ibu secara sosial, dan seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anak.
Segala hal yang anak ketahui berawal dari seorang ibu. Pondasi anak di kehidupan berikutnya berawal dari ibu. Kebiasaaan baik dan buruk anak pun dimulai dari kebiasaan ibu.
Seorang ibu dan perempuan penulis, pastilah kesehariannya tidak jauh dari dunia literasi. Menulis berawal dari membaca, tak ada membaca tanpa adanya sebuah buku, sehingga keluarga penulis perempuan tak akan jauh dari dunia buku, menjadikan buku sebagai harta yang tak ternilai dan menganggap literasi sebuah kebutuhan.
Perempuan sebagai ibu dan penulis menularkan kebiasaan positif di dunia literasi kepada anak. Di era digital seperti sekarang ini, memutus anak dari gawai bukanlah hal yang mudah, karena memang anak tersebut terlahir di dunia yang berbeda dengan masa lalu orangtuanya.
Namun menjadikan literasi sebagai sebuah alternatif bagi anak selain canggihnya teknologi gawai dan sejenisnya masih bisa dijumpai di beberapa keluarga.
Perempuan penulis akan menghadirkan bacaan yang bermutu, bermanfaat, dan tentu saja diminati oleh anak. Menjadikan buku menjadi harta dan menjadikan membaca sebagai kebutuhan, itulah titik tolak seorang anak melampaui batas cita untuk menjemput mimpinya.
Menjadikan anak cinta buku menjadi hal yang sangat susah di masa sekarang. Pesona buku (termasuk buku cerita bergambar) sudah tergantikan dengan mainan daring berbasis teknologi yang lebih instan dalam menikmatinya.
Dengan duduk santai, mata anak akan dimanjakan dengan tontonan yang terus bergerak tanpa harus bersusah payah mengeja huruf demi huruf. Bandingkan dengan buku sebagai hiburan, masih membutuhkan ketekunan dari setiap anak agar dapat mencerna isi dan kandungannya.
Namun jelas keduanya akan jauh berbeda secara hasil. Tontonan instan hanya akan menimbulkan efek hiburan secara sekejap, memori hanya menangkap sebatas pandangan mata.
Membaca buku akan meningkatkan kemampuan otak anak untuk kritis dan berpikir sekaligus meningkatkan imajinasi anak tentang isi buku tersebut. Otak yang selalu mendapatkan stimulasi akan semakin berkembang menjadi lebih optimal.
Anak-anak sekarang akan menjadi pemuda Indonesia di era 10-20 tahun mendatang. Generasi yang serba instan, mendapatkan hal yang diingankan dengan mudah tanpa perjuangan.
Generasi inilah yang akan membawa negeri ini mengalami kemajuan ataupun kemunduran. Jikalau sejak masa kanak-kanak tidak dibekali ilmu dari sebuah kecintaaan pada dunia literasi, maka 30 tahun mendatang negeri ini akan kehilangan jatidirinya.
Menggerakkan budaya literasi untuk anak berarti mempersiapkan masa depan Indonesia. Membentuk generasi muda yang siap dengan tantangan dan kompetisi baik pada dirinya sendiri maupun dari luar.
Generasi literasi adalah generasi yang memiliki modal utama untuk maju dan berkembang, generasi yang tidak mudah tergoyahkan karena adanya hoaks dari luar. Generasi yang semakin lama akan semakin kokoh dengan pondasi kuat dan semakin menjulang meraih mimpi dan cita.
Perempuan penulis... meski karya belum bisa membahana namun yakinilah kontribusi kita terbesar pada negeri ini sedang dirajut. Mungkin bukan berasal dari tulisan dan karya kita, namun tanpa kita sadari, ada tangan-tangan mungil yang selalu mendampingi kehidupan kita, mengikuti proses literasi yang kita lakukan dan akhirnya mereka telah bertekad bahwa “aku baca, aku tulis dan aku paham”.
Bukan sekadar hasil akhir yang kita tuju namun proses yang panjang inilah yang harus selalu kita nikmati dan syukuri.
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/06/20/dari-perempuan-penulis-untuk-anak-indonesia

Jumat, 14 Juni 2019

Perempuan Penulis Cegah Hoaks: Berkarya Dengan Data




Hoaks di era sekarang bisa disamakan jenisnya dengan kabar burung di masa lalu. Hanya saja kecepatan penyebaran hoaks dan kabar burung jelas sangat berbeda.
Kabar burung biasanya muncul di lingkungan interaksi sosial bisa rumah tinggal, kantor, sekolah dan sebagainya. Berkembang dari satu mulut ke mulut lainnya dengan tambahan maupun pengurangan isi cerita. Terbatas sampai di situ.
Namun di era online seperti sekarang ini, kabar burung yang disebut hoaks itu tidak hanya berkembang lewat mulut (percakapan). Namun dengan kecepatan sangat tinggi mampu menembus ruang dan waktu dalam hitungan detik.
Ya, dengan sebuah tulisan yang tidak jelas kebenarannya, cenderung berisi kebohongan disebarkan melalui media sosial dari satu grup ke grup yang lain. Tidak hanya satu kota, satu negara bahkan satu dunia bisa terimbas adanya tulisan hoaks tersebut.
Cara penulis memutus rantai hoaks adalah berkarya dengan data. Mungkin banyak orang yang menganggap data hanya bisa dibahasakan secara ilmiah, dalam sebuah karya tulisan bentuk skripsi, tesis, jurnal dan karya ilmiah lainnya.
Data adalah sebuah pondasi, bagaimana mengungkapkan sebuah kejujuran dari realita yang telah ada. Namun sebenarnya data bukanlah sekedar deretan angka yang harus kaku untuk membahasakannya.
Para penulis perempuanlah yang bisa merangkai kata dengan indah menjadi sebuah bacaan yang enak untuk dinikmati oleh siapa saja.
Data memberikan pedoman awal bagi para penulis untuk mengembangkan kisah dan ceritanya yang akan membuka banyak wawasan. Dari sebuah data dan segudang cerita, penulis bisa membuka cakrawala para pembaca, mengungkapkan kebenaran, tanpa ada yang tertutupi, memberikan harapan positif atau mungkin berupa saran preventif.
Berbagai macam data bisa digunakan sebagai dasar pembuatan tulisan. Salah satunya dengan membuka situsweb pemerintah yang berbasis data di www.bps.go.id.
Data dinamis maupun statis dapat ditampilkan tanpa berbayar. Bidang sosial, kependudukan, ekonomi, perdagangan, pertanian, pertambangan, bahkan indikator strategis negeri ini dapat terbaca dengan jelas.
Data yang ditampilkan pun selalu diperbaharui secara berkala baik bulanan, triwulanan maupun tahunan.
Jikalau saja sebagai penulis bisa seksama memperhatikan data tersebut, banyak permasalahan di negeri ini dapat terurai karena kejelasan membaca situasi.
Kebijakan pemerintah bertolak dari data kemiskinan, pengangguran, dan harapan pertumbuhan ekonomi. Pengusaha mengembangkan usahanya berbasis banyaknya kebutuhan produk yang diminati pasar. Bahkan seorang ibu rumah tangga dapat bijak mengelola keuangan keluarga dengan memperhatikan tren berkala di sebuah data inflasi.
Hal yang disayangkan, sering kali masyarakat bertindak hanya berdasarkan berita yang banyak beredar, tanpa dicek terlebih dahulu kebenaran sumbernya.
Justru hoaks yang seperti ini yang sangat meresahkan, datang tiba-tiba dan membuat masyarakat harus berkeputusan cepat (terburu-buru) dengan hasil yang akhirnya mengecewakan.
Berkarya dengan data bagi para penulis, khususnya perempuan, akan mampu membahasakan kondisi riil negeri ini dengan gaya kepenulisan yang lebih menggugah simpati dan empati. Memberikan semangat dan harapan tinggi bahwa negeri ini terus berusaha menjadi lebih baik.
Bukalah mata dengan membaca, bukalah cakrawala dengan data, karena Indonesia terlalu luas dan beraneka warna dibandingkan hoaks yang hanya timbul tenggelam di setiap lini dunia maya.
Mari berpikir positif dan jernih, mewujudkan Indonesia tanpa hoaks dengan karya para penulis perempuan yang selalu berawal dari data.
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/06/14/perempuan-penulis-cegah-hoaks-berkarya-dengan-data

Jumat, 31 Mei 2019

Hatiku Bersamamu (Komunitas Perempuan BPS Menulis)

2010
Bandung, kota segudang cerita. Seribu kisah hadir memberi warna meski raga hanya sejenak berhenti di sana. Catatan perjuangan seorang ibu sekaligus sebagai mahasiswa dengan balutan air mata kesyukuran, kesabaran dan kebahagiaan mengisi setiap memori kehidupan.
Meski hanya 1,5 tahun menjadi bagian dari kota ini, namun jejaknya akan selalu ada.
2012
Di Bandung ini pulalah, lahir sebuah komunitas yang pada nantinya akan mengantarkan saya ke sebuah pintu gerbang kebahagiaan dan kemanfaatan. Dari seorang istri dan ibu dari 3 orang balita, kebersamaan dengan komunitas ini telah membuat saya melompat jauh dibandingkan diri saya yang dulu.
Otak yang hanya berkutat di antara kehidupan rumah, kantor dan lingkungan sekitar tiba-tiba saja terbuka wawasan untuk mengenal lebih banyak ilmu dan perempuan hebat yang menyemangati untuk terus berjuang.
Di sini pulalah saya sangat terinspirasi oleh Teh Lygia Pecandu Hujan, seorang ibu tunggal dengan 3 orang anak yang tetap bisa memberikan prioritas di dunia kepenulisan meski kesehariannya masih banyak hambatan untuk maju dan berkembang.
Tekad, kekuatan, dan dukungan lingkungan sekitar ternyata membuat seorang perempuan terus mantap menatap masa depan. Lingkungan itulah yang saya dapatkan di komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN).
Tak layak rasanya bagi saya untuk berkeluh kesah melihat tak hanya satu dua orang di komunitas ini, yang jauh dari kehidupan nyaman namun tetap memberikan sumbangan karya di setiap waktunya. Saya harus bisa mengikuti jejak mereka meski terlambat memulai namun tetap mempunyai cita-cita sama.
Diprakarsai oleh teh Indari Mastuti pada Mei 2010. Namun saya baru mulai aktif bergabung setelah meninggalkan kota Bandung di 2012.
Sayang memang, tidak bisa bertatap muka langsung dengan para perempuan hebat di IIDN, namun bergabung dengan IIDN itu semacam jodoh, hanya akan datang di saat yang tepat.
Lewat IIDN ini pulalah saya berani menulis (lagi) dengan sebuah harapan baru, masuk menjadi sebuah bagian dari buku antologi. IIDN membuat mimpi mempunyai sebuah buku menjadi nyata.
Buku Antologi “Nikmatnya Syukur”, sebagai salah satu seri di Storycake For Your Life-nya Penerbit Gramedia, berhasil menorehkan nama saya sebagai salah satu penulisnya. Alhamdulillah ya Allah...di mana sebuah kebaikan diniatkan maka akan banyak jalan dan orang yang memudahkan untuk terwujud.
Di antologi inilah pertama kali saya belajar bagaimana sebuah karya tulisan mengalami proses yang sangat panjang menjadi sebuah buku.
Sayembara kepenulisan antologi ini saya ikuti sekitar akhir tahun 2012, dengan berbagai pertimbangan dari juri (dikomandani oleh Ummu Ayesha) akhirnya tulisan saya termasuk sebagai salah satu kontributornya.
Namun hari demi hari, bulan demi bulan proses buku ini tidak ada kabarnya. Bahkan saya sudah hampir melupakan bahwa pernah mempunyai harapan tinggi menjadi bagian antologi.
Akhirnya di akhir 2013 mulai ada sebuah pencerahan, tentang isi buku termasuk kavernya. MasyaAllah bahagia rasanya... dan di April 2014 resmilah buku antologi Nikmatnya Syukur menjadi isi rak toko buku Gramedia, dan nama saya pun terukir disana. Terimakasih IIDN, mimpi dan cita buku antologi menjadi nyata.
2018
Tahun demi tahun berganti, rutinitas kantor dan rumah yang tiada habis membuat hidup terasa hambar. Tak ada lagi letupan kebahagiaan yang tercipta. Hingga dipertemukan dengan para pencinta karya... Perempuan BPS Menulis (PBM).
Jika menulis adalah sebuah hobi dan kebahagiaan, dan pekerjaan kantor adalah kebersamaan selama 14 tahun, kenapa keduanya tidak dapat dipadukan?
Begitu banyak karya tulis yang menggunakan hasil akhir dari sebuah proses pekerjaan di Badan Pusat Statistik, namun pemilik datanya sendiri tidak bisa menghasilkan sebuah karya.
Sungguh memprihatinkan, termasuk diri saya sendiri. Dengan segudang alasan: bakat menulis hanya di fiksi, puisi, cerita ringan, tidak bisa menulis serius, ilmiah dan lain sebagainya.
Nyatanya itu hanyalah sebuah topeng agar diri ini tidak ditertawakan oleh orang-orang di luar BPS.
Namun Januari 2018 seorang sahabat Nurin Ainistikmalia, yang berada di kabupaten Tana Tidung jauh dari ibu kota, menginspirasi dan menggandeng tangan para perempuan BPS untuk menimba ilmu dan mengukir karya bersama.
Berbagai kegiatan online telah dilaksanakan dengan para narasumber yang semakin membuka cakrawala bahwa menulis di BPS adalah salah satu tombak untuk sebuah kemajuan.
Satu demi satu karya dalam bentuk tulisan opini di koran lokal, nasional, media online bahkan di seminar nasional dan internasional telah dihasilkan anggota komunitas ini.
Jelas hal itu memupuk harapan saya untuk bisa mengikuti jejak-jejak mereka. Kalau mereka bisa kenapa saya tidak?
Sebuah karya, awalnya mungkin karena terpaksa. Itulah kata yang tepat untuk saya, dan akhirnya November 2018 hasil keterpaksaan itu bisa muncul di kolom opini koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta dengan judul Era Baru Ketahanan Pangan DIY.
Ini adalah pembuktian bagi diri saya sendiri, saya bisa melampaui keterbatasan dengan segala dukungan dari sebuah komunitas Perempuan BPS Menulis. Terima kasih PBM, awal keterpaksaan semoga berakhir menjadi kecintaan.
Untuk IIDN dan PBM: Saat hati ini sudah menyatu, akan selalu bersamamu (komunitas menulis), InsyaAllah
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/05/31/hatiku-bersamamu

Umroh Keluarga Tanpa Fasilitas Makan?